Senin, 15 Desember 2014

PENGARUH MUSIK TERHADAP PERFORMANCE FISIK



PENGARUH MUSIK TERHADAP PERFORMANCE FISIK

ABSTRAK
Tujuan utama dari paper ini adalah untuk menentukan apakah ada pengaruh dari musik
terhadap performance dari seseorang saat melaksanakan pekerjaan fisik. Tiga jenis musik
digunakan dalam studi ini: musik ringan, hard rock, dan musik favorit masing-masing subjek.
Pekerjaan fisik yang sama tanpa musik juga dilaksanakan sebagai kontrol. Sebagai pekerjaan fisik,
setiap subjek berjalan di atas treadmill dengan kecepatan konstan (4.8 km/jam) dan kemiringan
konstan (4º) selama 6 menit. Setiap subjek diberikan istirahat yang cukup setiap kali selesai
melaksanakan satu eksperimen. Sepuluh mahasiswa, tiga wanita dan tujuh pria berpartisipasi
secara sukarela dalam studi ini. Program statistik digunakan untuk menganalisa hasil studi. Dari
hasil perhitungan, tampak bahwa musik ringan dan favorit secara signifikan mempengaruhi
performance fisik. Detak jantung per menit lebih rendah saat subyek mendengarkan musik ringan
atau musik favorit mereka sambil melaksanakan pekerjaan fisik, dibandingkan tanpa
mendengarkan musik. Pada saat mendengarkan musik hard rock, detak jantung menurun tetapi
tidak signifikan. Di lain pihak, konsumsi oksigen tidak menurun secara signifikan bila tanpa musik
dibandingkan dengan mendengarkan musik. Karena itu, akan lebih menguntungkan bila pada saat
melakukan suatu pekerjaan fisik, pekerja mendengarkan musik ringan atau musik favorit mereka.
Kata kunci: musik, performance fisik, detak jantung, konsumsi Oksigin.
1. PENDAHULUAN
Dalam lingkup pekerjaan yang sebenarnya, sudah umum bahwa pekerja selalu
mendengarkan musik saat mereka bekerja, apakah itu fisik atau mental/kantor. Di
beberapa perkantoran, sudah umum juga bahwa mereka memainkan musik ringan dengan
volume yang rendah saat jam kerja. Di lingkungan kerja, musik digunakan untuk
beberapa maksud, yaitu mengurangi pengaruh suara yang mengganggu, supaya merasa
lebih relax, dan lain-lain. Orang-orang yang sering jogging juga biasanya memakai
headphone untuk mendengarkan musik.
Efek musik terhadap mental telah diteliti oleh beberapa orang. Sailer dan Hassenzahl
(2000), mengutip Kjellberg dan Landström, menyatakan bahwa kebisingan (noise)
memiliki pengaruh yang negatif terhadap konsentrasi, produktivitas, kapasitas kerja, dan
resiko kecelakaan, walaupun pada level suara/volume yang rendah. Beh dan Hirst (1999)
mempelajari efek musik terhadap pengemudi. Mereka menyimpulkan bahwa musik
memiliki pengaruh positif untuk meningkatkan kewaspadaan selama mengemudi. Untuk
tugas yang ringan, musik tidak memiliki pengaruh, musik yang nyaring juga tidak
mengganggu performance pengemudi. Mills (1996) mengemukakan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara agresivitas anak sekolah SLTP dengan musik yang iramanya cepat.
Dia menyimpulkan bahwa sangat menguntungkan untuk memainkan musik terutama saat
pelajaran olah raga. Copeland dan Franks (1991) mengemukakan bahwa musik cepat dan
keras tidak meningkatkan performance secara phisiologis ataupun psikologis. Mereka
juga menemukan bahwa musik lambat memiliki pengaruh untuk membuat perasaan lebih
rileks.
Dalam studi ini, sperti telah disinggung sebelumnya, pengaruh musik terhadap
performance fisik diselidiki.

2. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan utama dari studi ini adalah untuk menentukan apakah ada pengaruh dari
musik terhadap performance fisik seseorang ditinjau secara phisiologi. Pengaruh musik
terhadap mental telah banyak diteliti, juga pengaruhnya terhadap pengemudi. Pengaruh
musik terhadap fisik juga telah diteliti paling tidak oleh Iwanaga dan Tsukamoto (1997)
dan Copeland dan Franks (1991). Ditinjau dari usaha untuk meningkatkan performance
kerja, studi ini cukup memiliki arti penting, baik dari pihak pekerja maupun dari pihak
perusahaan terutama dalam hal peningkatan produktivitas kerja. Beberapa keuntungan
bisa diambil dari hasil studi ini:
1. Bagi Industri: meningkatkan produktivitas operasional secara umum.
2. Bagi pekerja: mereka dapat bekerja lebih efisien dalam hal penghematan tenaga dan
tidak cepat lelah.
3. Studi ini juga berguna bagi orang-orang yang melakukan kegiatan olahraga.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Review
Metode sub-maksimal digunakan dalam penelitian ini, yitu suatu metode yang umum
digunakan untuk menentukan hubungan antara detak jantung dengan konsumsi oksigen.
Menurut Åstrand dan Rodahl (1986), metode ini mudah dilaksanakan, aman, dan relatif
murah karena subyek tidak perlu mencapai detak jantung yang maksimum dimana hal ini
bisa membahayakan. Menurut Bot dan Hollander (2000), hubungan linier antara detak
jantung dan konsumsi oksigen juga berlaku untuk latihan/pekerjaan fisik yang nonsteady.
Dengan metode ini, detak jantung maksimum dari setiap subyek dapat ditentukan
dengan persamaan/analisa regresi.
3.2 Subyek
Sepuluh orang yang semuanya mahasiswa, tiga wanita dan tujuh pria, secara
sukarela berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai subyek. Umur rata-rata mereka adalah
23,9 tahun. Karakteristik masing-masing subyek dapat dilihat dalam Tabel 1. Semua
subyek familiar dengan tugas fisik yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini.
3.3 Peralatan
a. Deltatrac Metabolic Monitor dilengkapai dengan printer untuk mengukur konsumsi
oksigen (ml/menit), karbondioksida (ml/menit), dan kebutuhan energi (kcal/hari).
b. Treadmill Quinton 645 untuk simulasi pekerjaan fisik.
c. Monitor detak jantung digital tipe Exersentry III untuk mengukur detak jantung (detak
per menit).
d. Audio tape, kaset, CD.
3.4 Prosedur Percobaan
Semua subyek yang berpartisipasi dalam penelitian ini sudah mengerti dengan
simulasi tugas fisik yang akan dilaksanakan, yaitu berjalan di atas treadmill. Data-data
subyek: jenis kelamin, umur, tinggi dan berat badan dimasukkan dalam alat ukur
Deltatrac yang secara otomatis menghitung luas permukaan badan dan BMR. Setelah
semua data dimasukkan, setiap subyek kemudian berjalan di atas treadmill dengan
kecepatan 4,8 km/jam dengan kemiringan 4º selama 6 menit. Setiap menit detak jantung
mereka diukur, demikian juga konsumsi oksigen mereka. Ada empat kondisi yang
dilaksanakan dalam penelitian ini:
2. Subyek berjalan di atas treadmill sambil mendengarkan musik ringan.
3. Subyek berjalan di atas treadmill sambil mendengarkan musik hard rock.
4. Subyek berjalan di atas treadmill sambil mendengarkan musik favorit mereka.
Saat mendengarkan musik, mereka menggunakan headset dan volume diatur oleh
masing-masing mereka. Setelah menyelesaikan satu sesi (setelah 6 menit berjalan di atas
treadmill), setiap subyek diberi istirahat secukupnya sampai detak jantung mereka
kembali normal (detak jantung saat istirahat).

3.5 Analisa Statistik
Program statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel dan
SAS (Statistical Analysis System). Efek dari musik terhadap performance fisik diukur
menggunakan á = 0.05. H0 : Tidak ada perbedaan dalam hal detak jantung dan konsumsi
oksigen untuk pekerjaan fisik yang dilaksanakan sambil mendengarkan musik atau tidak.
Ha : Ada pengaruh dari musik terhadap detak jantung dan konsumsi oksigen.

4. HASIL PENELITIAN

4.1 Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:
1. Detak jantung untuk setiap kondisi setiap menit.
2. Konsumsi oksigen (ml/menit), karbondioksida yang dihasilkan dari pernapasan
(ml/menit), energi yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tersebut (kcal/hari).
Data tersebut secara otomatis dicetak oleh printer yang dihubungkan dengan alat
monitor konsumsi oksigen
5. KESIMPULAN
Penelitian lapangan mungkin akan menghasilkan kesimpulan yang lebih baik.
Namun demikian, kesulitan yang akan dihadapi bila penelitian semacam ini dilakukan di lapangan adalah pemakaian alat yang akan jauh lebih sulit. Untuk itu, simulasi pekerjaan
fisik mungkin bisa diubah sehingga mirip dengan pekerjaan fisik sebenarnya yang akan
diteliti. Dengan menggunakan pekerja sebagai subyek dalam penelitian semacam ini akan
memberikan hasil yang lebih representatif bila dibandingkan dengan menggunakan
pelajar/mahasiswa.

OPTIMASI PRODUKSI DENGAN METODE RESPONSE SURFACE



OPTIMASI PRODUKSI DENGAN METODE
RESPONSE SURFACE
Studi Kasus pada Perusahaan Injection Moulding
ABSTRAK
Dalam artikel ini, metode response surface digunakan untuk menentukan titik optimal dari
setting mesin di perusahaan injection moulding, sehingga didapatkan jumlah produksi yang
optimal. Selama ini perusahaan memproduksi produk yang terbuat dari plastik dengan tingkat
kecacatan yang cukup besar. Karena itu, perusahaan berusaha mengurangi tingkat kecacatan yang
terjadi. Berdasarkan diagram pareto, tingkat kecacatan terbesar adalah cacat lubang.
Untuk menyelesaikan penyebab kecacatan tersebut dilakukan suatu perancangan eksperimen
yaitu dengan rancangan 3k. Penyebab kecacatan adalah inject pressure, inject timer, temperatur.
Pada saat inject pressure 55 Mpa, inject timer 4,2s dan temperatur 224o C menghasilkan kondisi
yang optimal sehingga tingkat kecacatan turun sebesar 7.3 %.
Kata kunci: response surface, titik optimal setting, tingkat kecacatan.
1. PENDAHULUAN
Studi kasus yang dibahas dalam artikel ini merupakan perusahaan plastik yang
bergerak di bidang injection molding. Dalam melakukan setting mesin, perusahaan
menggunakan sistem coba-coba sehingga tidak mempunyai standar proses yang pasti.
Produksi di perusahaan pada saat ini mempunyai tingkat kecacatan yang cukup besar,
sehingga perusahaan sangat menginginkan untuk dapat mengurangi tingkat kecacatan
yang terjadi. Karena itu, ingin dicari faktor-faktor yang berpengaruh agar dapat
meminimalkan tingkat kecacatan tersebut.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Perancangan eksperimen statistika merupakan suatu proses perencanaan eksperimen
untuk memperoleh data yang tepat sehingga dapat dianalisa dengan metode statistik serta
kesimpulan yang diperoleh dapat bersifat obyektif dan valid.
Salah satu metoda perancangan eksperimen yang digunakan untuk mengetahui
kondisi optimal adalah Metode Response Surface. Metode ini menggabungkan teknik
matematika dengan teknik statistika yang digunakan untuk membuat dan menganalisa
suatu respon Y yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas atau faktor X guna
mengoptimalkan respon tersebut.
Hubungan antara respon Y dan variabel bebas dapat dirumuskan sebagai
Y = f (X1,X2,X3,…,Xk) + å

dimana:
Y = variabel respon
Xi = variabel bebas/faktor ( i = 1,2,3,…,k )
å = error
Hubungan antara Y dan Xi dapat dicari menggunakan first order models dan second
order models, dimana first order models digunakan untuk mencari daerah optimal dan
second order models digunakan untuk mencari titik optimal.



3. STUDI KASUS

Proses Produksi Produk Plastik .
Bahan baku plastik berupa polypropilene dicampur dengan zat pewarna pada mesin
Mixer. Pencampuran tersebut berlangsung kurang lebih 5 menit, dan hasilnya akan
dimasukkan ke dalam hopper mesin injection molding untuk diproses. Polypropilene
secara bertahap diambil dari bak penampung dan dilewatkan elemen pemanas sehingga
akan meleleh karena suhu tinggi. Kemudian dilakukan proses injection ke dalam cetakan
dan cetakan akan menutup selama selang waktu tertentu. Setelah polypropilene menjadi
padat, maka cetakan dibuka dan ejector akan meniup produk jadi.

4. KESIMPULAN
Setelah melakukan analisa data dan pembahasan maka dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
1. Jenis kecacatan yang terjadi adalah lubang, peyok, warna hangus dan tidak rata.
85,83% kecacatan terbesar adalah lubang
2. Cacat lubang disebabkan karena Setting inject pressure, Setting inject timer, dan
Setting temperatur.
3. Kondisi optimal dengan kecacatan sebesar 1,2% diperoleh pada saat Inject pressure =
55 Mpa, Inject timer = 4,2 detik, dan Temperatur = 224_C.
4. Dari kondisi yang optimum didapatkan penurunan tingkat kecacatan sebesar 7.3%.


Sumber : puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ind/article/view/16009

MODEL DINAMIS PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK MENGURANGI BEBAN PENUMPUKAN



MODEL DINAMIS PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK
MENGURANGI BEBAN PENUMPUKAN

ABSTRAK
Tingginya volume sampah yang dihasilkan baik oleh industri maupun masyarakat merupakan
permasalahan umum yang dijumpai di hampir semua kota, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.
Disamping dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, permasalahan tingginya volume sampah juga dipengaruhi
oleh tingkat pertumbuhan penduduk. Permasalahan ini semakin dipersulit dengan terbatasnya Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) yang tersedia. Untuk itu diperlukan suatu alternatif pengelolaan sampah yang
dapat menurunkan tingkat penumpukan sampah di TPA. Dalam penelitian ini dilakukan analisis pengelolaan
sampah untuk mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan menggunakan simulasi berdasarkan
pendekatan sistem dinamis. Hasil simulasi selanjutnya akan digunakan untuk melihat kelayakan dari setiap
alternatif pengelolaan sampah berdasarkan perhitungan Cost-Benefit ratio (B/C), sedangkan untuk
mengetahui pandangan masyarakat terhadap alternatif pengolahan sampah (dilihat dari aspek sosial,
ekonomi, lingkungan dan teknologi), maka dilakukan pula proses pembobotan dengan Analytic Hierarchy
Process (AHP). Sebagai studi kasus dipilih TPA Bantar Gebang yang berfungsi untuk menampung sampah
yang dihasilkan oleh DKI Jakarta. Dengan menggunakan simulasi didapatkan proyeksi sampah yang
dihasilkan dan akan dibuang ke TPA Bantar Gebang untuk berbagai skenario hingga tahun 2025.
Berdasarkan hasil analisa, baik dengan sistem dinamis maupun dengan Analytic Hierarchy Process (AHP)
dan Benefit-Cost ratio (B/C), maka sebaiknya pengelolaan sampah di DKI dilakukan secara bertahap,
pertama adalah dengan pengomposan dan kemudian dengan incenerator.

Kata kunci: kompos, incenerator, recycle, simulasi, sistem dinamis.
1. PENDAHULUAN
Tingkat pertumbuhan penduduk sangat berpengaruh pada volume sampah yang merupakan
hasil dari konsumsi penduduk. Sebagai kota metropolitan, Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan
sampah sejumlah 18500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25700 m3 per hari.
Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi
Borobudur (volume Candi Borobudur = 55000 m3). Luas lahan yang tersedia adalah 108 ha, TPA
Bantar Gebang Bekasi harus menampung 6000 ton per hari (setara dengan 25650 m3). Sampah
6000 ton tersebut yang dapat di recycle atau diolah kembali hanya sebesar 1000 ton per hari dan
dari 1000 ton tersebut hanya 450 ton saja yang dapat di olah kembali (Walhi, 2006).
Dalam hal ini, penyelesaian masalah sampah membutuhkan adanya kerja sama yang baik
antara semua pihak yang terkait. Paradigma pengelolaan sampah juga harus didasarkan pada
konsep pengelolaan sampah yang mendukung prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah sebagai regulator harus bisa memayungi
permasalahan sampah dengan baik dan benar.
Berkaitan dengan permasalahan sampah di DKI Jakarta, maka Pemerintah daerah (Pemda)
DKI Jakarta perlu mencari alternatif pengelolaan sampah. Alternatif tersebut diharapkan dapat
mempermudah Pemda DKI Jakarta untuk memperoleh kebijakan pengelolaan sampah yang
bukan hanya meminimalkan penumpukan sampah tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspek
terkait, seperti sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh kebijakan yang sebaiknya diambil oleh Pemda DKI Jakarta dalam pengelolaan
sampah dengan menggunakan simulasi sistem dinamis (dynamic system simulation). Sebagai
studi kasus dipilih Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan masukan dalam pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang, sehingga tidak terjadi
penumpukan sampah yang akan berakibat meningkatnya polusi air, tanah dan udara.

2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan simulasi berdasarkan sistem dinamis dan Analytic
Hierarchy Process (AHP) untuk menganalisis alternatif pengelolaan sampah yang dapat
mengurangi tingkat penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang. Sistem dinamis merupakan
suatu cara berpikir tentang sistem sebagai jaringan yang saling behubungan yang mempengaruhi
sejumlah komponen yang telah ditetapkan dari waktu ke waktu. Simulasi merupakan prosedur
kuantitatif yang menggambarkan suatu proses dengan mengembangkan suatu model dan
menerapkan serangkaian uji coba terencana untuk memprediksikan tingkah laku proses sepanjang
waktu, sehingga analisis dapat dilakukan untuk sistem yang baru tanpa harus membangunnya atau
merubah sistem yang telah ada, serta tidak perlu mengganggu operasi dari sistem tersebut. Pada
umumnya simulasi digunakan untuk model-model dinamis yang melibatkan periode waktu ganda
(Randers, 2000).
Simulasi untuk berbagai alternatif pengelolaan sampah ini akan dilakukan dengan berbagai
skenario untuk melihat proyeksi penurunan tingkat penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang
hingga tahun 2025. Hasil simulasi selanjutnya akan digunakan untuk melihat kelayakan dari setiap
alternatif pengelolaan sampah berdasarkan perhitungan Break Event Point (BEP), Cost-Benefit
ratio (B/C), dan Return Investment (ROI).
Jika sistem dinamis hanya menggambarkan keterkaitan komponen-komponen dalam sistem
pengolahan sampah tanpa mempertimbangkan keinginan masyarakat, maka AHP diharapkan
dapat menutupi kelemahan ini. Kuesioner diberikan kepada beberapa responden (konsultan,
manajer kontraktor pengolahan sampah, dinas kebersihan DKI Jakarta) untuk mengetahui
pandangan masyarakat terhadap alternatif pengolahan sampah (dilihat dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi). Hasil kuesioner ini kemudian diolah guna mendapatkan pembobotan
dengan menggunakan AHP untuk selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas terhadap alternatif
pengolahan sampah yang di pandang layak oleh masyarakat melalui bobot tertinggi (Saaty, 1999).
Penggunaan sistem dinamis, AHP dan juga B/C diharapkan dapat memberikan gambaran
secara utuh baik dari segi komponen pengolahan sampah, finansial maupun keinginan
masyarakat. Hal ini yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya
yang hanya melihat sistem pengolahan sampah dari sudut pandang tertentu saja dan tanpa
menggunakan sistem dinamis; seperti penelitian Amurwaraharja (2003) tentang pengolahan
sampah yang hanya melihat dari sudut pandang masyarakat, atau penelitian yang dilakukan oleh
Fitria (Fitria et al., 2009) yang membahas mengenai penentuan rute truk pengumpulan dan
pengangkutan sampah dengan menggunakan Vehicle Routing Problem.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Model Pengolahan Sampah
Sebelum pembuatan model pengolahan sampah, perlu diketahui beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya timbunan sampah. Hal ini diperlukan untuk pembuatan causal loop
seperti terlihat pada Gambar 1. Causal loop selanjutnya menjadi dasar kerangka berpikir dalam
pembuatan model pengelolaan sampah. Model pengolahan sampah dibuat dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak Powersim. Model ini dibuat berdasarkan empat alternatif pengolahan
sampah, yaitu: recycle (daur ulang), landfill, pengomposan dan incenerator (pembakaran).
Diagram ini meliputi unsur (sistem proses descriptors) dan panah, yang dikenal sebagai mata
rantai causal, yang menghubungkan berbagai unsur bersama-sama. Hubungan causal antara satu
unsur dengan unsur lain adalah positif jika perubahan ini bersifat bersamaan, artinya jika A
meningkat maka menyebabkan peningkatan B, atau sebaliknya, jika terjadi penurunan A maka
akan menyebabkan penurunan B pula. Hubungan ini disebut same direction (s). Sebaliknya jika
hubungan causal antara satu unsur dengan unsur lain adalah negatif, maka jika terjadi peningkatan
terhadap unsur A akan menyebabkan penurunan unsur B. Hubungan ini disebut juga dengan
opposite direction (o) (Deaton, 2000).
Pada penelitian ini faktor-faktor yang dipilih lebih dititik beratkan pada metode pengolahan
sampah. Peningkatan jumlah penduduk yang dibarengi dengan peningkatan jumlah sampah akan
mempengaruhi jumlah sampah yang harus dipilah agar proses pengolahan lebih mudah, baik
berdasarkan jenis sampah (sampah organik dan anorganik) maupun manfaatnya (untuk recycle,
kompos, dan sebagainya).
Sebagai alternatif pengolahan, recycle memanfaatkan sampah anorganik, dan proses ini
sebenarnya hanya menunda atau mencegah material sampah anorganik menumpuk di TPA.
Sedangkan kompos memanfaatkan sampah organik dan mampu mereduki sampah sebesar 62,5%
dari total sampah (jumlah sampah anorganik dengan organik). Pembakaran atau incenerator dapat
mereduksi 84% dari total sampah, dan abu hasil pembakaran dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan batako. Proses-proses ini dapat menekan laju timbunan sampah di TPA Bantar
Gebang.
Produk yang mempunyai nilai komersial dapat dijual dan menghasilkan profit
sebagai pemasukan bagi pihak pengelola baik Pemda maupun swasta. Hal ini dapat pula
merangsang minat swasta untuk menginvestasikan dananya dalam hal pengadaan teknologi baru
pengolah sampah. Pengolahan sampah juga membutuhkan biaya operasional seperti gaji tenaga
kerja. Biaya operasional ini akan mengurangi profit yang didapat (Prakosa, 2003).
1. Pengolahan Sampah dengan Landfill
Pada Landfill sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung, namun dibiarkan
membusuk menjadi bahan organik. Metode penumpukan bersifat murah dan sederhana, tetapi
menimbulkan beberapa risiko antara lain: berjangkitnya penyakit menular, menyebabkan
pencemaran (terutama bau dan kotoran) (Kholil, 2006).

2. Pengolahan Sampah dengan Recycle
Merupakan salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan,
pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai.
Proses recycle dipengaruhi oleh faktor fraksional (persentase) kemampuan memilah, waktu
pengiriman dan waktu pengolahan. Sifat dari recycle adalah menunda penumpukan sampah
yang sifatnya anorganik, maka lambat laun hasil atau produknya pun akan menjadi sampah
kembali. Sampah anorganik yang berjumlah 44%, jika recycle sampah sebesar 25% dari
jumlah sampah yang ada ditambah dengan peran pemulung yang melakukan pengangkutan
untuk recycle secara informal sebesar 5 ton/bulan per orang, dan diasumsikan delay 6 bulan,
maka proses recycle mampu menekan masuknya sampah yang dihasilkan masyarakat.
Sebagai contoh proyeksi pada tahun 2025, sampah yang dihasilkan sebesar 83528 ton/bulan
atau 1002348 ton pada tahun tersebut, hanya 636877 ton yang masuk ke TPA Bantar Gebang
dengan adanya recycle.

3. Pengolahan Sampah dengan Kompos
Pengolahan sampah dengan pengomposan merupakan cara penumpukan sampah pada lubang
kecil dalam jangka waktu tertentu untuk menghasilkan pupuk yang alamiah atau proses
dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap buangan organik yang
biodegradable (Subandi, 2006). Pemanfaatannya dapat membantu DKI Jakarta yang
mempunyai program hutan kota. Selain itu, lokasi tanam yang semakin berkurang di rumahrumah
masyarakat membutuhkan media tanam lain sebagai penyubur tanaman. Hasil
pengomposan dapat digunakan sebagai unsur hara untuk penanaman dalam pot. Kompos
yang terbuat dari sampah organik dapat pula berfungsi untuk mereduksi timbunan sampah.
Mengingat 55% sampah penduduk DKI Jakarta adalah sampah organik, maka pembuatan
kompos akan mengurangi suplai sampah ke TPA Bantar Gebang. Sama halnya dengan
recycle, pengomposan juga membutuhkan pemilahan. Perbedaannya adalah hasil ataupun
produk pengomposan ini tidak kembali menjadi sampah. Komposisi sampah penduduk DKI
Jakarta rata-rata menghasilkan 55,5% sampah organik dari total sampah yang dihasilkan
(26264 m³/tahun). Jika sampah organik tersebut mampu diolah seluruhnya, maka akan dapat menurunkan jumlah sampah di TPA Bantar Gebang. Sebagai contoh pada tahun 2025 diproyeksikan akan terdapat 5 ton sampah, turun sebesar 807412 ton jika dibandingkan dengan
pengolahan sampah dengan landfill (pada tahun 2025 sampah di TPA sebesar 795088 ton).
Artinya, pengolahan sampah menjadi kompos ini mampu mereduksi sampah di TPA sebesar
21,56%.
4. Pengolahan Sampah dengan Incenerator
Cara ini mampu mengurangi timbunan sampah di TPA Bantar Gebang sebesar 62,6%.
Metode ini dapat dilakukan hanya untuk sampah yang dapat dibakar habis. Harus diusahakan
jauh dari pemukiman untuk menghindari pencemaran (asap dan bau) dan kebakaran.
Pembakaran sampah menghasilkan dioksin, yaitu ratusan jenis senyawa kimia berbahaya,
yang mampu memperpanjang umur zona landfill dari dua tahun menjadi 4,5 tahun. Pada
model yang ditunjukan pada Gambar 6, terlihat bahwa incenerasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti waktu pengiriman dan fraksional atau persentase pembakaran. Kecepatan
pengolahan sampah ini akan mengurangi beban penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang.
Jika sampah yang diolah semakin banyak maka akan mengurangi sampah yang akan dibuang
ke TPA Bantar Gebang, sehingga semakin rendah suplai sampah ke TPA dan semakin lama
pula zona yang akan dipakai sebagai wadah landfill. Berbeda dengan recycle dan
pengomposan yang hanya bisa dilakukan terhadap sampah anorganik atau organik saja,
incenerator dapat dilakukan terhadap kedua jenis sampah tersebut, kecuali anorganik yang
bersifat logam dan kaca, karena itu pula penurunan jumlah sampah di TPA dengan
incinerator cukup signifikan.
3.2 Analisis Sensitivitas Hasil Studi AHP
Setelah disusun hirarki proses pengolahan sampah berdasarkan empat aspek (sosial,
ekonomi, lingkungan dan teknologi) dengan masing-masing aspek terdiri dari empat alternatif
(recycle, kompos, landfill dan incenerator) seperti terlihat pada Gambar 8, disusunlah kuesioner
untuk mengetahui sudut pandang masyarakat terhadap pengolahan sampah. Kemudian dilakukan
pengolahan data dengan metode AHP untuk menentukan skala prioritas pengolahan sampah
menurut masyarakat dilihat dari empat aspek tersebut. Hasil pembobotan dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak expert choice, memperlihatkan bahwa aspek sosial mempunyai
preferensi yang paling tinggi (53,8%), diikuti dengan aspek lingkungan (26%), ekonomi (14,3%)
dan teknologi (5,9%). Adapun skala prioritas alternatif pengolahan sampah yang tertinggi adalah
pengomposan (42,5%), recycle (30,2%), incenerator (21,5%) dan landfill (5,8%).
Hasil análisis sensitivitas memperlihatkan bahwa tidak ada perubahan pada alternatif
pengolahan sampah berdasarkan pendapat masyarakat seperti ditunjukkan pada Gambar 9.
Dengan kata lain, masyarakat tetap berpendapat bahwa pengomposan merupakan alternatif utama
yang sebaiknya dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta dalam pengolahan sampah.
Analisis sensitivitas dilakukan terhadap empat aspek, yaitu sosial, lingkungan, ekonomi dan
teknologi. Jika diasumsikan di masa depan terjadi peningkatan preferensi terhadap aspek sosial
sehingga nilai bobot aspek sosial mencapai 82,8%, maka alternatif pengomposan merupakan
prioritas utama yang sebaiknya diterapkan dalam kegiatan pengolahan sampah di Jakarta dengan
nilai bobot 41,1%. Hal ini berarti bahwa jika kondisi yang dihadapi mengharuskan penentuan
teknologi pengolahan sampah dititik beratkan kepada membuka kesempatan kerja, meminimalkan
potensi konflik yang mungkin terjadi, menciptakan peluang berusaha bagi masyarakat, membuka
peluang kepada sektor informal dan formal untuk terlibat, serta dapat meningkatkan peran serta
masyarakat, maka pengomposan adalah prioritas utama untuk diterapkan di DKI Jakarta.
3.3 Cost to Profit
Sebuah perkembangan dalam pengelolaan sampah adalah merubah paradigma dari
pembiayaan menjadi profit atau sarana untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian
pengolahan sampah harus menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya untuk mereduksi
jumlah sampah untuk mengurangi pencemaran air, udara dan tanah,akan tetapi juga dapat
bermanfaat terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Ada beberapa pengolahan sampah yang
dapat dikembangkan untuk menghasilkan produk yang mempunyai nilai jual, yaitu pengomposan,
recycle (daur ulang), dan waste to energy (sampah untuk energi).
Tabel 4 memperlihatkan hasil perhitungan kelayakan untuk pengomposan, recycle, dan
waste to energy. Secara keseluruhan biaya operasi atau produksi untuk membuat satu ton kompos
adalah sebesar Rp 355.500, sedangkan harga kompos Rp 500/kg. Dalam hal ini, kondisi Break
Event Point (BEP) dapat dicapai jika penjualannya mencapai 711 ton. Sedangkan dilihat dari
sudut Benefit-Cost ratio (B/C) yang merupakan perbandingan hasil penjualan dengan biaya
operasi adalah sebesar 1,41%, artinya dengan biaya operasi Rp 355.500 akan mendapatkan
keuntungan 1,41 kalinya. Hal ini menunjukkan bahwa pengomposan sangat layak dilaksanakan.
Sedangkan ditinjau dari Return of Invesment (ROI) yang merupakan ukuran perbandingan antara
keuntungan dengan biaya operasi, didapatkan nilai ROI sebesar 0,406, artinya untuk setiap Rp 100
yang dikeluarkan akan didapatkan keuntungan Rp 0,406. Jika diasumsikan 55% atau 330 ton
(55% x 6000 ton) sampah penduduk DKI Jakarta dijadikan kompos, maka akan didapat
keuntungan sebesar Rp 867.000 dalam sehari. Pemda DKI Jakarta bukan hanya dapat mereduksi
timbunan sampah tetapi dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk sampah organik, maka alternatifnya adalah mengolah kembali menjadi suatu produk.
Hal ini sudah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta dengan pilot project di daerah Cempaka Putih
dan Rawa Sari. Tabel 4 memperlihatkan hasil perhitungan kelayakan jika daur ulang
dilaksanakan.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa Benefit-Cost ratio (B/C) untuk recycle mempunyai nilai
lebih kecil dari 1, artinya recycle lebih baik tidak dilaksanakan karena biaya operasional lebih
besar dari hasil penjualan. Selisih hasil penjualan dengan biaya operasi adalah –Rp 9.945.947
sehingga jika akan dilaksanakan harus mendapatkan subsidi sebesar Rp 10.000 yang bisa didapat
dari retribusi kebersihan.
Terdapat dua alternatif untuk pengolahan sampah menjadi energi, yaitu energi yang
memanfaatkan gas methana (yang dihasilkan akibat penumpukan sampah), dan yang kedua
adalah energi yang dihasilkan dengan memanfaatkan panas dari hasil pembakaran atau
incenerator. Perhitungan kelayakan pelaksanaan waste to energy dilakukan dengan alternatif yang
kedua. Hal ini dikarenakan alternatif pertama tidak memberikan dampak pada reduksi sampah di
TPA dan gas methana yang dihasilkan relatif lama (± 3 tahun).
Keseluruhan biaya operasi atau produksi untuk membuat satu MWatt listrik adalah sebesar
Rp 433.000.000 dengan harga listrik Rp 450/kg. Satu MWatt listrik yang dihasilkan mampu
memenuhi 10.000 pelanggan dengan pemakaian rata-rata 100 Kwh per bulan dan voltase rumah
tangga 450 – 900 VA. Keuntungan yang akan didapat adalah sebesar Rp 16.000.000. Dilihat dari
Benefit-Cost ratio (B/C) yang merupakan perbandingan hasil penjualan dengan biaya operasi
adalah 1,037%, artinya dengan biaya operasi sebesar Rp 433.000.000 akan didapatkan
keuntungan 1,037 kalinya. Sehingga waste to energi sangat layak dilaksanakan. Sedangkan
ditinjau dari Return of Invesment (ROI) yang merupakan ukuran perbandingan antara keuntungan
dengan biaya operasi, didapatkan nilai ROI sebesar 3,687; artinya untuk setiap Rp 100 yang
dikeluarkan akan didapatkan keuntungan Rp 3,687.
4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa, baik dengan sistem dinamis maupun skala prioritas AHP serta
Benefit-Cost ratio (B/C), maka sebaiknya pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah
daerah DKI Jakarta dilakukan secara bertahap, pertama adalah dengan pengomposan. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan dari permasalahan yang ada (pencemaran, penolakan dari
masyarakat, dan lain sebagainya), dan pertimbangan dari setiap kriteria dari semua aspek
(terutama aspek sosial yang mempunyai preferensi terbesar dibanding dengan aspek yang lain
yaitu 53,8%), dan juga berdasarkan kelayakan investasi (B/C rasio sebesar 1,41), serta faktor
penurunan tumpukan sampah yang cukup tinggi.
Kedua adalah dengan incenerator. Pengolahan sampah dengan incenerator dapat dilakukan
setelah adanya sosialisasi kepada masyarakat, sehingga potensi konflik dapat diredam disamping
potensi pemanfaatan yang positif baik dilihat dari kelayakan investasi dengan nilai Benefit-Cost
ratio (B/C) lebih besar dari satu (1,04) maupun efektivitas penurunan timbunan sampah (66%).