MODEL DINAMIS PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK
MENGURANGI BEBAN PENUMPUKAN
ABSTRAK
Tingginya volume sampah yang
dihasilkan baik oleh industri maupun masyarakat merupakan
permasalahan umum yang dijumpai
di hampir semua kota, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.
Disamping dipengaruhi oleh daya
beli masyarakat, permasalahan tingginya volume sampah juga dipengaruhi
oleh tingkat pertumbuhan
penduduk. Permasalahan ini semakin dipersulit dengan terbatasnya Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) yang
tersedia. Untuk itu diperlukan suatu alternatif pengelolaan sampah yang
dapat menurunkan tingkat
penumpukan sampah di TPA. Dalam penelitian ini dilakukan analisis pengelolaan
sampah untuk mengurangi beban
penumpukan sampah di TPA dengan menggunakan simulasi berdasarkan
pendekatan sistem dinamis. Hasil
simulasi selanjutnya akan digunakan untuk melihat kelayakan dari setiap
alternatif pengelolaan sampah
berdasarkan perhitungan Cost-Benefit ratio (B/C), sedangkan untuk
mengetahui pandangan masyarakat
terhadap alternatif pengolahan sampah (dilihat dari aspek sosial,
ekonomi, lingkungan dan
teknologi), maka dilakukan pula proses pembobotan dengan Analytic Hierarchy
Process (AHP). Sebagai
studi kasus dipilih TPA Bantar Gebang yang berfungsi untuk menampung sampah
yang dihasilkan oleh DKI Jakarta.
Dengan menggunakan simulasi didapatkan proyeksi sampah yang
dihasilkan dan akan dibuang ke
TPA Bantar Gebang untuk berbagai skenario hingga tahun 2025.
Berdasarkan hasil analisa, baik
dengan sistem dinamis maupun dengan Analytic Hierarchy Process (AHP)
dan Benefit-Cost ratio (B/C),
maka sebaiknya pengelolaan sampah di DKI dilakukan secara bertahap,
pertama adalah dengan pengomposan
dan kemudian dengan incenerator.
Kata kunci: kompos,
incenerator, recycle, simulasi, sistem dinamis.
1. PENDAHULUAN
Tingkat pertumbuhan penduduk
sangat berpengaruh pada volume sampah yang merupakan
hasil dari konsumsi penduduk.
Sebagai kota metropolitan, Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan
sampah sejumlah 18500 m3 per hari
dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25700 m3 per hari.
Jika dihitung dalam setahun, maka
volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi
Borobudur (volume Candi Borobudur
= 55000 m3). Luas lahan yang tersedia adalah 108 ha, TPA
Bantar Gebang Bekasi harus
menampung 6000 ton per hari (setara dengan 25650 m3). Sampah
6000 ton tersebut yang dapat di recycle
atau diolah kembali hanya sebesar 1000 ton per hari dan
dari 1000 ton tersebut hanya 450
ton saja yang dapat di olah kembali (Walhi, 2006).
Dalam hal ini, penyelesaian
masalah sampah membutuhkan adanya kerja sama yang baik
antara semua pihak yang terkait.
Paradigma pengelolaan sampah juga harus didasarkan pada
konsep pengelolaan sampah yang
mendukung prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan. Dalam
hal ini, pemerintah sebagai regulator harus bisa memayungi
permasalahan sampah dengan baik
dan benar.
Berkaitan dengan permasalahan
sampah di DKI Jakarta, maka Pemerintah daerah (Pemda)
DKI Jakarta perlu mencari
alternatif pengelolaan sampah. Alternatif tersebut diharapkan dapat
mempermudah Pemda DKI Jakarta
untuk memperoleh kebijakan pengelolaan sampah yang
bukan hanya meminimalkan
penumpukan sampah tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspek
terkait, seperti sosial, ekonomi,
lingkungan dan teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh kebijakan yang
sebaiknya diambil oleh Pemda DKI Jakarta dalam pengelolaan
sampah dengan menggunakan
simulasi sistem dinamis (dynamic system simulation). Sebagai
studi kasus dipilih Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan masukan dalam
pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang, sehingga tidak terjadi
penumpukan sampah yang akan
berakibat meningkatnya polusi air, tanah dan udara.
2. METODE
PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan
simulasi berdasarkan sistem dinamis dan Analytic
Hierarchy
Process (AHP)
untuk menganalisis alternatif pengelolaan sampah yang dapat
mengurangi tingkat penumpukan
sampah di TPA Bantar Gebang. Sistem dinamis merupakan
suatu cara berpikir tentang
sistem sebagai jaringan yang saling behubungan yang mempengaruhi
sejumlah komponen yang telah
ditetapkan dari waktu ke waktu. Simulasi merupakan prosedur
kuantitatif yang menggambarkan
suatu proses dengan mengembangkan suatu model dan
menerapkan serangkaian uji coba
terencana untuk memprediksikan tingkah laku proses sepanjang
waktu, sehingga analisis dapat
dilakukan untuk sistem yang baru tanpa harus membangunnya atau
merubah sistem yang telah ada,
serta tidak perlu mengganggu operasi dari sistem tersebut. Pada
umumnya simulasi digunakan untuk
model-model dinamis yang melibatkan periode waktu ganda
(Randers, 2000).
Simulasi untuk berbagai
alternatif pengelolaan sampah ini akan dilakukan dengan berbagai
skenario untuk melihat proyeksi
penurunan tingkat penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang
hingga tahun 2025. Hasil simulasi
selanjutnya akan digunakan untuk melihat kelayakan dari setiap
alternatif pengelolaan sampah
berdasarkan perhitungan Break Event Point (BEP), Cost-Benefit
ratio (B/C), dan Return
Investment (ROI).
Jika sistem dinamis hanya
menggambarkan keterkaitan komponen-komponen dalam sistem
pengolahan sampah tanpa mempertimbangkan
keinginan masyarakat, maka AHP diharapkan
dapat menutupi kelemahan ini.
Kuesioner diberikan kepada beberapa responden (konsultan,
manajer kontraktor pengolahan
sampah, dinas kebersihan DKI Jakarta) untuk mengetahui
pandangan masyarakat terhadap
alternatif pengolahan sampah (dilihat dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan
dan teknologi). Hasil kuesioner ini kemudian diolah guna mendapatkan pembobotan
dengan menggunakan AHP untuk
selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas terhadap alternatif
pengolahan sampah yang di pandang
layak oleh masyarakat melalui bobot tertinggi (Saaty, 1999).
Penggunaan sistem dinamis, AHP
dan juga B/C diharapkan dapat memberikan gambaran
secara utuh baik dari segi
komponen pengolahan sampah, finansial maupun keinginan
masyarakat. Hal ini yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya
yang hanya melihat sistem
pengolahan sampah dari sudut pandang tertentu saja dan tanpa
menggunakan sistem dinamis;
seperti penelitian Amurwaraharja (2003) tentang pengolahan
sampah yang hanya melihat dari
sudut pandang masyarakat, atau penelitian yang dilakukan oleh
Fitria (Fitria et al.,
2009) yang membahas mengenai penentuan rute truk pengumpulan dan
pengangkutan sampah dengan
menggunakan Vehicle Routing Problem.
3. HASIL DAN
PEMBAHASAN
3.1 Model
Pengolahan Sampah
Sebelum pembuatan model
pengolahan sampah, perlu diketahui beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya timbunan
sampah. Hal ini diperlukan untuk pembuatan causal loop
seperti terlihat pada Gambar 1. Causal
loop selanjutnya menjadi dasar kerangka berpikir dalam
pembuatan model pengelolaan
sampah. Model pengolahan sampah dibuat dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak Powersim.
Model ini dibuat berdasarkan empat alternatif pengolahan
sampah, yaitu: recycle (daur
ulang), landfill, pengomposan dan incenerator (pembakaran).
Diagram ini meliputi unsur
(sistem proses descriptors) dan panah, yang dikenal sebagai mata
rantai causal, yang
menghubungkan berbagai unsur bersama-sama. Hubungan causal antara satu
unsur dengan unsur lain adalah
positif jika perubahan ini bersifat bersamaan, artinya jika A
meningkat maka menyebabkan
peningkatan B, atau sebaliknya, jika terjadi penurunan A maka
akan menyebabkan penurunan B
pula. Hubungan ini disebut same direction (s). Sebaliknya jika
hubungan causal antara
satu unsur dengan unsur lain adalah negatif, maka jika terjadi peningkatan
terhadap unsur A akan menyebabkan
penurunan unsur B. Hubungan ini disebut juga dengan
opposite
direction (o)
(Deaton, 2000).
Pada penelitian ini faktor-faktor
yang dipilih lebih dititik beratkan pada metode pengolahan
sampah. Peningkatan jumlah
penduduk yang dibarengi dengan peningkatan jumlah sampah akan
mempengaruhi jumlah sampah yang
harus dipilah agar proses pengolahan lebih mudah, baik
berdasarkan jenis sampah (sampah
organik dan anorganik) maupun manfaatnya (untuk recycle,
kompos, dan sebagainya).
Sebagai alternatif pengolahan, recycle
memanfaatkan sampah anorganik, dan proses ini
sebenarnya hanya menunda atau
mencegah material sampah anorganik menumpuk di TPA.
Sedangkan kompos memanfaatkan
sampah organik dan mampu mereduki sampah sebesar 62,5%
dari total sampah (jumlah sampah
anorganik dengan organik). Pembakaran atau incenerator dapat
mereduksi 84% dari total sampah,
dan abu hasil pembakaran dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan batako. Proses-proses
ini dapat menekan laju timbunan sampah di TPA Bantar
Gebang.
Produk yang mempunyai nilai
komersial dapat dijual dan menghasilkan profit
sebagai pemasukan bagi pihak
pengelola baik Pemda maupun swasta. Hal ini dapat pula
merangsang minat swasta untuk
menginvestasikan dananya dalam hal pengadaan teknologi baru
pengolah sampah. Pengolahan
sampah juga membutuhkan biaya operasional seperti gaji tenaga
kerja. Biaya operasional ini akan mengurangi profit
yang didapat (Prakosa, 2003).
1. Pengolahan Sampah dengan Landfill
Pada Landfill sebenarnya
sampah tidak dimusnahkan secara langsung, namun dibiarkan
membusuk menjadi bahan organik.
Metode penumpukan bersifat murah dan sederhana, tetapi
menimbulkan beberapa risiko
antara lain: berjangkitnya penyakit menular, menyebabkan
pencemaran (terutama bau dan
kotoran) (Kholil, 2006).
2. Pengolahan Sampah dengan Recycle
Merupakan salah satu strategi
pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan,
pengumpulan, pemrosesan,
pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai.
Proses recycle dipengaruhi
oleh faktor fraksional (persentase) kemampuan memilah, waktu
pengiriman dan waktu pengolahan.
Sifat dari recycle adalah menunda penumpukan sampah
yang sifatnya anorganik, maka
lambat laun hasil atau produknya pun akan menjadi sampah
kembali. Sampah anorganik yang
berjumlah 44%, jika recycle sampah sebesar 25% dari
jumlah sampah yang ada ditambah
dengan peran pemulung yang melakukan pengangkutan
untuk recycle secara
informal sebesar 5 ton/bulan per orang, dan diasumsikan delay 6 bulan,
maka proses recycle mampu
menekan masuknya sampah yang dihasilkan masyarakat.
Sebagai contoh proyeksi pada
tahun 2025, sampah yang dihasilkan sebesar 83528 ton/bulan
atau 1002348 ton pada tahun
tersebut, hanya 636877 ton yang masuk ke TPA Bantar Gebang
dengan adanya recycle.
3. Pengolahan Sampah dengan
Kompos
Pengolahan sampah dengan
pengomposan merupakan cara penumpukan sampah pada lubang
kecil dalam jangka waktu tertentu
untuk menghasilkan pupuk yang alamiah atau proses
dekomposisi yang dilakukan oleh
mikroorganisme terhadap buangan organik yang
biodegradable (Subandi, 2006).
Pemanfaatannya dapat membantu DKI Jakarta yang
mempunyai program hutan kota.
Selain itu, lokasi tanam yang semakin berkurang di rumahrumah
masyarakat membutuhkan media
tanam lain sebagai penyubur tanaman. Hasil
pengomposan dapat digunakan
sebagai unsur hara untuk penanaman dalam pot. Kompos
yang terbuat dari sampah organik
dapat pula berfungsi untuk mereduksi timbunan sampah.
Mengingat 55% sampah penduduk DKI
Jakarta adalah sampah organik, maka pembuatan
kompos akan mengurangi suplai
sampah ke TPA Bantar Gebang. Sama halnya dengan
recycle, pengomposan
juga membutuhkan pemilahan. Perbedaannya adalah hasil ataupun
produk pengomposan ini tidak
kembali menjadi sampah. Komposisi sampah penduduk DKI
Jakarta rata-rata menghasilkan
55,5% sampah organik dari total sampah yang dihasilkan
(26264 m³/tahun). Jika sampah
organik tersebut mampu diolah seluruhnya, maka akan dapat menurunkan jumlah
sampah di TPA Bantar Gebang. Sebagai contoh pada tahun 2025 diproyeksikan akan
terdapat 5 ton sampah, turun sebesar 807412 ton jika dibandingkan dengan
pengolahan sampah dengan landfill
(pada tahun 2025 sampah di TPA sebesar 795088 ton).
Artinya, pengolahan sampah
menjadi kompos ini mampu mereduksi sampah di TPA sebesar
21,56%.
4. Pengolahan Sampah dengan Incenerator
Cara ini mampu mengurangi
timbunan sampah di TPA Bantar Gebang sebesar 62,6%.
Metode ini dapat dilakukan hanya
untuk sampah yang dapat dibakar habis. Harus diusahakan
jauh dari pemukiman untuk
menghindari pencemaran (asap dan bau) dan kebakaran.
Pembakaran sampah menghasilkan dioksin,
yaitu ratusan jenis senyawa kimia berbahaya,
yang mampu memperpanjang umur
zona landfill dari dua tahun menjadi 4,5 tahun. Pada
model yang ditunjukan pada Gambar
6, terlihat bahwa incenerasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti waktu pengiriman
dan fraksional atau persentase pembakaran. Kecepatan
pengolahan sampah ini akan
mengurangi beban penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang.
Jika sampah yang diolah semakin
banyak maka akan mengurangi sampah yang akan dibuang
ke TPA Bantar Gebang, sehingga
semakin rendah suplai sampah ke TPA dan semakin lama
pula zona yang akan dipakai
sebagai wadah landfill. Berbeda dengan recycle dan
pengomposan yang hanya bisa
dilakukan terhadap sampah anorganik atau organik saja,
incenerator dapat dilakukan
terhadap kedua jenis sampah tersebut, kecuali anorganik yang
bersifat logam dan kaca, karena
itu pula penurunan jumlah sampah di TPA dengan
incinerator cukup
signifikan.
3.2 Analisis
Sensitivitas Hasil Studi AHP
Setelah disusun hirarki proses
pengolahan sampah berdasarkan empat aspek (sosial,
ekonomi, lingkungan dan
teknologi) dengan masing-masing aspek terdiri dari empat alternatif
(recycle, kompos, landfill
dan incenerator) seperti terlihat pada Gambar 8, disusunlah
kuesioner
untuk mengetahui sudut pandang
masyarakat terhadap pengolahan sampah. Kemudian dilakukan
pengolahan data dengan metode AHP
untuk menentukan skala prioritas pengolahan sampah
menurut masyarakat dilihat dari
empat aspek tersebut. Hasil pembobotan dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak expert
choice, memperlihatkan bahwa aspek sosial mempunyai
preferensi yang paling tinggi
(53,8%), diikuti dengan aspek lingkungan (26%), ekonomi (14,3%)
dan teknologi (5,9%). Adapun
skala prioritas alternatif pengolahan sampah yang tertinggi adalah
pengomposan (42,5%), recycle (30,2%),
incenerator (21,5%) dan landfill (5,8%).
Hasil análisis sensitivitas
memperlihatkan bahwa tidak ada perubahan pada alternatif
pengolahan sampah berdasarkan
pendapat masyarakat seperti ditunjukkan pada Gambar 9.
Dengan kata lain, masyarakat
tetap berpendapat bahwa pengomposan merupakan alternatif utama
yang sebaiknya dilakukan oleh
Pemda DKI Jakarta dalam pengolahan sampah.
Analisis sensitivitas dilakukan
terhadap empat aspek, yaitu sosial, lingkungan, ekonomi dan
teknologi. Jika diasumsikan di
masa depan terjadi peningkatan preferensi terhadap aspek sosial
sehingga nilai bobot aspek sosial
mencapai 82,8%, maka alternatif pengomposan merupakan
prioritas utama yang sebaiknya
diterapkan dalam kegiatan pengolahan sampah di Jakarta dengan
nilai bobot 41,1%. Hal ini
berarti bahwa jika kondisi yang dihadapi mengharuskan penentuan
teknologi pengolahan sampah
dititik beratkan kepada membuka kesempatan kerja, meminimalkan
potensi konflik yang mungkin
terjadi, menciptakan peluang berusaha bagi masyarakat, membuka
peluang kepada sektor informal
dan formal untuk terlibat, serta dapat meningkatkan peran serta
masyarakat, maka pengomposan adalah prioritas utama
untuk diterapkan di DKI Jakarta.
3.3 Cost to
Profit
Sebuah perkembangan dalam
pengelolaan sampah adalah merubah paradigma dari
pembiayaan menjadi profit atau
sarana untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian
pengolahan sampah harus
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya untuk mereduksi
jumlah sampah untuk mengurangi
pencemaran air, udara dan tanah,akan tetapi juga dapat
bermanfaat terhadap pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Ada beberapa pengolahan sampah yang
dapat dikembangkan untuk
menghasilkan produk yang mempunyai nilai jual, yaitu pengomposan,
recycle (daur ulang),
dan waste to energy (sampah untuk energi).
Tabel 4 memperlihatkan hasil
perhitungan kelayakan untuk pengomposan, recycle, dan
waste to energy. Secara
keseluruhan biaya operasi atau produksi untuk membuat satu ton kompos
adalah sebesar Rp 355.500,
sedangkan harga kompos Rp 500/kg. Dalam hal ini, kondisi Break
Event Point (BEP) dapat
dicapai jika penjualannya mencapai 711 ton. Sedangkan dilihat dari
sudut Benefit-Cost ratio (B/C)
yang merupakan perbandingan hasil penjualan dengan biaya
operasi adalah sebesar 1,41%,
artinya dengan biaya operasi Rp 355.500 akan mendapatkan
keuntungan 1,41 kalinya. Hal ini
menunjukkan bahwa pengomposan sangat layak dilaksanakan.
Sedangkan ditinjau dari Return
of Invesment (ROI) yang merupakan ukuran perbandingan antara
keuntungan dengan biaya operasi,
didapatkan nilai ROI sebesar 0,406, artinya untuk setiap Rp 100
yang dikeluarkan akan didapatkan
keuntungan Rp 0,406. Jika diasumsikan 55% atau 330 ton
(55% x 6000 ton) sampah penduduk
DKI Jakarta dijadikan kompos, maka akan didapat
keuntungan sebesar Rp 867.000
dalam sehari. Pemda DKI Jakarta bukan hanya dapat mereduksi
timbunan sampah tetapi dapat
menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk sampah organik, maka
alternatifnya adalah mengolah kembali menjadi suatu produk.
Hal ini sudah dilakukan oleh
Pemda DKI Jakarta dengan pilot project di daerah Cempaka Putih
dan Rawa Sari. Tabel 4
memperlihatkan hasil perhitungan kelayakan jika daur ulang
dilaksanakan.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa Benefit-Cost
ratio (B/C) untuk recycle mempunyai nilai
lebih kecil dari 1, artinya recycle
lebih baik tidak dilaksanakan karena biaya operasional lebih
besar dari hasil penjualan.
Selisih hasil penjualan dengan biaya operasi adalah –Rp 9.945.947
sehingga jika akan dilaksanakan
harus mendapatkan subsidi sebesar Rp 10.000 yang bisa didapat
dari retribusi kebersihan.
Terdapat dua alternatif untuk
pengolahan sampah menjadi energi, yaitu energi yang
memanfaatkan gas methana (yang
dihasilkan akibat penumpukan sampah), dan yang kedua
adalah energi yang dihasilkan
dengan memanfaatkan panas dari hasil pembakaran atau
incenerator. Perhitungan
kelayakan pelaksanaan waste to energy dilakukan dengan alternatif yang
kedua. Hal ini dikarenakan
alternatif pertama tidak memberikan dampak pada reduksi sampah di
TPA dan gas methana yang
dihasilkan relatif lama (± 3 tahun).
Keseluruhan biaya operasi atau
produksi untuk membuat satu MWatt listrik adalah sebesar
Rp 433.000.000 dengan harga
listrik Rp 450/kg. Satu MWatt listrik yang dihasilkan mampu
memenuhi 10.000 pelanggan dengan
pemakaian rata-rata 100 Kwh per bulan dan voltase rumah
tangga 450 – 900 VA. Keuntungan
yang akan didapat adalah sebesar Rp 16.000.000. Dilihat dari
Benefit-Cost
ratio (B/C)
yang merupakan perbandingan hasil penjualan dengan biaya operasi
adalah 1,037%, artinya dengan
biaya operasi sebesar Rp 433.000.000 akan didapatkan
keuntungan 1,037 kalinya.
Sehingga waste to energi sangat layak dilaksanakan. Sedangkan
ditinjau dari Return of
Invesment (ROI) yang merupakan ukuran perbandingan antara keuntungan
dengan biaya operasi, didapatkan
nilai ROI sebesar 3,687; artinya untuk setiap Rp 100 yang
dikeluarkan akan didapatkan keuntungan Rp 3,687.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa, baik
dengan sistem dinamis maupun skala prioritas AHP serta
Benefit-Cost
ratio (B/C),
maka sebaiknya pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah
daerah DKI Jakarta dilakukan
secara bertahap, pertama adalah dengan pengomposan. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan dari
permasalahan yang ada (pencemaran, penolakan dari
masyarakat, dan lain sebagainya),
dan pertimbangan dari setiap kriteria dari semua aspek
(terutama aspek sosial yang
mempunyai preferensi terbesar dibanding dengan aspek yang lain
yaitu 53,8%), dan juga
berdasarkan kelayakan investasi (B/C rasio sebesar 1,41), serta faktor
penurunan tumpukan sampah yang
cukup tinggi.
Kedua adalah dengan incenerator.
Pengolahan sampah dengan incenerator dapat dilakukan
setelah adanya sosialisasi kepada
masyarakat, sehingga potensi konflik dapat diredam disamping
potensi pemanfaatan yang positif
baik dilihat dari kelayakan investasi dengan nilai Benefit-Cost
ratio (B/C) lebih
besar dari satu (1,04) maupun efektivitas penurunan timbunan sampah (66%).